Bagi anda yang ingin mempunyai filenya, silahkan download!.
Baca Makalah Lain:
Makalah Psikologi Agama (Pengaruh Pendidikan Dan Kebudayaan Terhadap Jiwa Agama)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia dilahirkan di dunia ini dalam keadaan fitrah, sehingga pengaruh lingkungan akan turut mempengaruhi perkembangan seseorang. Baik ataupun buruknya lingkungan akan menjadi referensi bagi perkembangan masyarakat sekitarnya. WH. Clarck mengemukakan bahwa bayi yang baru lahir merupakan makhluk yang tidak berdaya, namun ia dibekali oleh berbagai kemampuan yang bersifat bawaan. Disini mengandung pengertian bahwa sifat bawaan seseorang tersebut memerlukan sarana untuk mengembangkannya. Pendidikan merupakan sarana yang tepat dalam mencapai hal tersebut. Baik pendidikan keluarga, formal ataupun non formal sekalipun. Terlebih sebagai umat islam maka pendidikan islam tentu menjadi sebuah jalan yang harus ditempuh oleh semua umat.
Pada dewasa ini kebudayaan dalam masyarakat merupakan system nilai tertentu yang dijadikan pedoman hidup oleh warga masyarakat yang mendukung kebudayaan tersebut. Karena dijadikan kerangka acuan dalam bertindak dan bertingkah laku maka kebudayaan cenderung menjadi tradisi dalam suatu masyarakat. Tradisi adalah sesuatu yang sulit berubah, karena sudah menyatu dalam kehidupan masyarakat pendukungnya. Bahkan menurut Prof.Dr.Kasmiran Wuryo, tradisi masyarakat merupakan bentuk norma yang berbentuk dari bawah, sehingga sulit untuk diketahui sumber asalnya. Oleh karena itu tampaknya tradisi sudah berbentuk sebagai norma yang dilakukan dalam kehidupan masyarakat.
Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai pengaruh Pendidikan dan Kebudayaan terhadap Jiwa Keagamaan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut perlu kiranya merumuskan masalah sebagai pijakan untuk terfokusnya kajian makalah ini. Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut :
1. Bagaimana Pengaruh Pendidikan terhadap Jiwa Keagamaan?
2. Bagaimana Pengaruh Kebudayaan terhadap Jiwa Keagamaan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengaruh Pendidikan Terhadap Jiwa Keagamaan
Meskipun para ahli masih belum memiliki kesepakatan tentang asal-usul jiwa keagamaan pada manusia, namun pada umumnya mereka mengakui peran pendidikan dalam menanamkan rasa dan sikap keberagamaan pada manusia. Dengan kata lain, pendidikan dinilai memiliki peran penting dalam upaya menanamkan rasa keagamaan pada seorang anak. Kemudian melalui pendidikan pula dilakukan pembentukan sikap keagamaan tersebut.
1. Pendidikan Keluarga
Barangkali sulit untuk mengabaikan peran keluarga dalam pendidikan. Anak-anak sejak masa bayi hingga usia sekolah memiliki lingkungan tunggal, yaitu keluarga. Makanya tak mengherankan jika Gilbert Highest menyatakan bahwa kebiasaan yang dimiliki anak-anak sebagaian besar terbentuk oleh pendidikan keluarga.
Manusia memerlukan pemeliharaan, pengawasan dan bimbingan yang serasi dan sesuai agar perumbuhan dan perkembangannya dapat berjalan secara baik dan benar. Manusia memang bukan makhluk instinkif secara utuh, sehingga tidak mungkin berkembang dan tumbuh secara instingtif sepenuhnya.
Keluarga menurut para pendidik merupakan lapangan pendidikan yang pertama, dan pendidikannya adalah kedua orang tua. Orang tua (bapak dan ibu) adalah pendidik kodrati. Mereka pendidik bagi anak-anaknya karena secara kodrat ibu dan bapak diberikan anugerah oleh Tuhan Pencipta berupa naluri orang tua. Karena naluri ini, timbul rasa kasih sayang para orang tua kepada anak – anak mereka, hingga secara moral keduannya merasa terbeban tanggung jawab untuk memelihara, mengawasi, melindungi serta membimbing keturunan mereka. Pendidikan keluarga merupakan pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa keagamaan.
Menurut Rasul Allah Saw, fungsi dan peran orang tua bahkan mampu untuk membentuk arah keyakinan anak-anak mereka. Menurut beliau, setiap bayi yang dilahirkan sudah memiliki potensi untuk beragama, namun bentuk keyakinan agama yang akan dianut anak sepenuhnya tergantung dari bimbingan, pemeliharaan, dan pengaruh kedua orang tua mereka.
2. Pendidikan Kelembagaan
Di masyarakat primitif lembaga pendidikan secara khusus tidak ada. Anak-anak umumnya dididik di lingkungan keluarga dan masyarakat lingkunganya. Pendidikan secara kelembagaan memang belum diperlukan, karena variasi profesi dalam kehidupan belum ada. Di masyarakat yang telah memiliki peradaban modern, seseorang memerlukan pendidikan maka dibentuk lembaga khusus yang menyelenggarakan tugas-tugas kependidikan dimaksud. Dengan demikian, secara kelembagaan maka sekolah-sekolah pada hakikatnya adalah merupakan lembaga pendidikan yang artisifisialis (sengaja dibuat).
Selain itu, sejalan dengan fungsi dan peranannya, maka sekolah sebagai kelembagaan pendidikan adalah pelanjut dari pendidikan keluarga. Karena keterbatasan para orang tua untuk mendidik anak – anak mereka, maka mereka diserahkan ke sekolah-sekolah. Memang sulit untuk mengungkapkan secara tepat mengenai seberapa jauh pengaruh pendidikan agama melaui kelembagaan pendidikan terhadap perkembangan jiwa keagamaan para anak.
Berdasarkan penelitian Gillesphy dan young, walaupun latar belakang pendidikan agama dilingkungan keluarga lebih dominan dalam pembentukan jiwa keagamaan pada anak, barangkali pendidikan agama yang diberikan dikelembagaan pendidikan ikut berpengaruh dalam pembentukan jiwa keagamaan anak.
Pendidikan agama di lembaga pendidikan bagaimanapun akan memberi pengaruh bagi pembentukan jiwa keagamaan pada anak, pendidikan agama lebih dititik beratkan pada bagaimana membentuk kebiasaan yang selaras dengan tuntunan agama. Fungsi sekolah dalam kaitannya dengan pembentukan jiwa keagamaan pada anak, antara lain sebagai pelanjut pendidikan agama dilingkungan keluarga atau membentuk jiwa keagamaan pada diri anak yang tidak menerima pendidikan agama dalam keluarga.
Dengan demikian, pengaruh kelembagaan pendidikan dalam pembentukan jiwa keagamaan pada anak sangat tergantung dari kemampuan para pendidik untuk menimbulkan ketiga proses itu.pertama, pendidikan agama yang diberikan harus dapat menarik perhatian peserta didik. Kedua, para guru agama harus mampu memeberikan pemahaman kepada anak didik tentang materi pendidikan yang diberikannya. Ketiga, penerimaan siswa terhadap materi pendidikan agama yang diberikan.
3. Pendidikan di Masyarakat
Masyarakat merupakan lapangan pendidikan yang ketiga. Para pendidik umumnya sependapat bahwa lapangan pendidikan yang ikut mempengaruhi perkembangan anak didik adalah keluarga, kelembagaan pendidikan, dan lingkungan masyarakat. Keserasian antara ketiga lapangan pendidikan ini akan memberi dampak yang positif bagi perkembangan anak, termasuk dalam pembentukan jiwa keagamaan mereka.
4. Agama dan Masalah Sosial
Tumbuh dan berkembangnya kesadaran agama (religious consciousness), dan pengalaman agama (religious experence) ternyata melalui proses yang gradual, tidak sekaligus. Pengaruh luar sangat berperan dalam menumbuhkembangnya, khususnya pendidikan. Adapun pendidikan yang paling berpengaruh, yakni pendidikan dalam keluarga. Apabila dilingkungannya keluarga anak-anak tidak diberikan pendidikan agama, biasanya sulit untuk memperoleh kesadaran dan pengalaman agama yang memadai.
Secara umum, anak jalanan merupakan anak yatim. Baik karena berstatus sebagai yatim sepenuhnya, yaitu mereka yang sudah kehilangan orang tua atau yang teryatimkan. Mereka yang teryatimkan ini adalah yang masih mempunyai orang tua, tetapi sudah lepas dari hubungan dari orang tua mereka. Hidup tanpa pemeliharaan dan pengawasan orang tua menjadikan anak jalanan berhadapan dengan kehidupan yang keras serta terkesan “liar”. Dalam konteks ini sebenarnya institusi pendidikan agama dapat berperan.
Demikian pula organisasi keagamaan. Membiarkan anak jalanan ataupun menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah, bagaimanapun bukanlah sikap yang arif. Kasus anak jalanan tampaknya memang memerlukan penanganan yang serius. Selain menjadi masalah sosial, kasus ini juga menjadi bagian dari maslah kegagamaan sebagai aplikasi dari kesadaran agama.
B. Pengaruh Kebudayaan Terhadap Jiwa Keagamaan
Kebudayaan merupakan cetak biru bagi kehidupan atau pedoman bagi kehidupan masyarakat, adalah perangkat-perangkat acuan yang berlaku umum dan menyeluruh dalam menghadapi lingkungan untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan warga masyarakat pendukung kebudayaan tersebut.
Disinilah terlihat bahwa kebudayaan dalam suatu masyarakat merupakan sistem nilai tertentu yang dijadikan pedoman hidup oleh warga yang mendukung kebudayaan tersebut. Karena dijadikan kerangka acuan dalam bertindak dan bertingkah laku maka kebudayaan cenderung menjadi tradisi dalam suatu masyarakat. Tradisi adalah sesuatu yang sulit berubah, karena sudah menyatu dalam kehidupan masyarakat pendukungnya.
1. Tradisi Keagamaan dan Kebudayaan
Menurut Rodaslav A. Tsanoff Tradisi keagamaan termasuk ke dalam pranata primer karena pranat keagamaan mengandung unsur-unsur yang berkaitan dengan ke-Tuhanan atau keyakinan, tindak keagamaan, perasaan-perasaan yang bersifat mistik, penyembahan kepada yang suci (ibadah), dan keyakinan terhadap nilai-nilai yang hakiki.
Tradisi keagamaan (bagi agama samawi) bersumber dari norma-norma yang termuat dalam kitab suci. Agama menurut Thomas F.O. Dea adalah agama yang terlihat sebagai pusat kebudayaan dan penyajian aspek kebudayaan yang tertinggi dan suci, menunjukkan mode kesadaran manusia yang menyangkut bentuk-bentuk simbolik sendiri. Sebagai sistem pengarahan, agama tersusun dalam unsur unsur normatif yang membentuk jawaban pada berbagai tingkat pemikiran, perasaan, dan perbuatan dalam bentuk pola berfikir dengan kompleksitas hubungan manusia dalam masyarakat , termasuk lembaga lembaga.
Bila kebudayaan sebagai cetak biru bagi kehidupan (Kluckhohn) atau sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat (Parsudi Suparlan), maka dalam masyarakat pemeluk agama perangkat perangkat yang berlaku umum dan menyeluruh sebagai norma norma kehidupan atau cenderung mengandung muatan keagamaan. Dengan demikian, hubungan antara tradisi keagamaan dengan kebudayaan terjalin sebagai hubungan timbal balik. Makin kuat tradiisi keagamaan dalam suatu masyarakat akan makin terlihat peran akan makin dominan pengaruhnya dalam kebudayaan. Sebaliknya, makin sekular suatu masyarakat, maka pengaruh tradisi keagamaan dalam kehidupan masyarakat akan kian memudar.
2. Tradisi keagamaan dan sikap keagamaan
Para ahli antropologi membagi kebudayaan dalam bentuk dan isi. Menurut bentuknya kebudayaan terdiri atas tiga, yaitu :
1. Sistem kebudayaan (cultural system)
Sistem kebudayaan berwujud gagasan, pikiran, konsep, nilai nilai budaya, norma norma, pandangan pandangan yang bentuknya abstrak serta berada dalam pikiran para pemangku kebudayaan yang bersangkutan.
2. Sistem sosial (Social system)
Sistem sosial berwujud aktivitas, tingkah laku berpola, perilaku, upacara upacara serta ritus ritus yang wujudnya lebih konkret. Sistem sosial adalah bentuk kebudayaan dalam wujud yang lebih konkret dan dapat di amati.
3. Benda-benda budaya (Material Culture)
Benda benda budaya di sebut juga sebagai kebudayaan fisik atau kebudayaan materil. Benda budaya merupakan hasil tingkah laku dan karya pemangku kebudayaan yang bersangkutan.
Bagaimana pengaruh tradisi keagamaan terhadap sikap keagamaan ini dapat di lihat dari contoh yang paling sederhana. Seorang, muslim yang di basarkan di lingkungan keluarga yang taat akan menunjukkan sikap yang menolak ketika di ajak masuk keKelenteng, Pure atau Gereja. Sebaliknya hatinya akan tenteram saat menjejakkan kakinya ke masjid. Demikian pula seorang penganut agama katolik, budha atau hindu akan mengalami hal yang serupa, jika masing masing di ajak masuk ke rumah ibadah agama lain yang bukan agama yang di anutnya. Meskipun yang menjadi arsitek masjid istiqlal adalah seorang katolik bernama fredrik silaban, namun pemeluk agama katolik lainnya akan mengalami suatu kondisi yang berbeda saat masuk ke istiqlal di bandingkan saat masuk ke katedral.
Dalam konteks pendidikan, tradisi keagamaan merupakan isi pendidikan yang bakal di wariskan generasi tua kepada generasi muda. Sebab, pendidikan menurut Hasan langgulung, dapat di lihat dari dua sudut pandang, yaitu sudut pandang individu dan masyarakat. Dari sudut pandang individu, maka pendidikan di artikan sebagai upaya untuk mengembangkan potensi individu. Sedangkan dari sudut pandang masyarakat, pendidikan merupakan pewarisan nilai-nilai budaya oleh generasi tua kepada generasi berikutnya.
3. Kebudayaan dalam era global dan pengaruhnya terhadap jiwa keagamaan
Era global umumnya di gambarkan sebagai kehidupan masyarakat dunia yang menyatu. Karena kemajuan teknologi, manusia antar negara menjadi mudah berhubungan baik melalui kunjungan secara fisik, karena alat transportasi sudah bukan merupakan penghambat bagi manusia untuk melewati ke berbagai tempat di seantero bumi ini; ataupun melalui pemanfaatan perangkat komunikasi.Era global yang di topang oleh kemajuan dan kecanggihan teknologi menjadi manusia seakan hidup dalam satu kota, kota di dunia.
Menurut David C.korten, ada tiga krisis yang bakal dihadapi manusia secara global. Kesadaran akan krisis ini sudah muncul sekitar tahun 1980-an, yaitu: kemiskinan, penanganan lingkungan yang salah serta kekerasan sosial. Gejaa tersebut akan menjadi mimpi buruk kemanusiaan di abad -21 ini. Selanjutnya ia menginventarisasi ada 21 permasalahan yang secara global akan dihadapi manusia, yaitu :
1. Pemulihan lahan kosong yang kritis.
2. Mengkonservasi dan mengalokasikan sumber-sumber air yang langka.
3. Mengurangi polusi udara.
4. Memperkuat dan memelihara lahan pertanian kecil.
5. Mengurangi tingkat pengangguran yang kronis.
6. Jaminan terhadap pemeliharan hak-hak asasi manusia.
7. Penyediaan kredit bagi kegiatan ekonomi berskala kecil.
8. Usaha pengurangan persenjataan dan militerisasi.
9. Pengawasan terhadap suhu udara secara global.
10. Penyediaan tempat tinggal bagi tunawisma.
11. Pertemuan yang membutuhkan pendidikan dua bahasa.
12. Pengurangan tingkat kelaparan, tuna aksara, dan tingkat kematian bayi untuk menambah jumlah penduduk.
13. Mengurangi tingkat kehamilan remaja.
14. Mengatur pertambahan penduduk dan pengaturan pertimbangannya.
15. Meningkatkan kewaspadaan masyarakat terhadap permasalahan yang menyangkut perkembangan global.
16. Peningkatan kewaspadaan terhadap pengrusakan alam.
17. Menyediakan fasilitas bagi kesepakatan untuk mengurangi berbagai ketegangan regional yang disebabkan perbedaan rasial, etnis, dan agama.
18. Menghilankan atau membersihakan hujan asam.
19. Penyembuahan terhadap korban penyakit AIDS serta mengawasi penyebaran berjangkitnya wabah tersebut.
20. Menempatkan kembali atau memulangkan para pengungsi.
21. Pengawasan terhadap lalu llintas perdagangan alkohol dan penyalahgunaan obat bius.
Tradisi keagamaan yang termasuk ke dalam pranata primer memang sulit untuk menerima perubahan begitu saja, namun pranata-pranata sekunder lainnya dapat dengan mudah berubah. Di sini terlihat bahwa kelestarian tradisi menurut robert monk, kelestarian dan upaya pemeliharaan pranata keagamaan sebagai unsur kebudayaan banyak tergantung dari penganut agama itu sendiri.
1. Agama Budaya dan Budaya Agama
Menurut Walter Houston Clarck, bahwa membuat definisi tentang agama sangat sulit. Bahkan menurut seorang pakar psikologi agama, Robert H. Thouless sendiri, J. H. Leuba telah menyampaikan kepadanya 48 definisi mengenai agama. Pakar antropologi budaya, Edward B. Taylor mendefinisikan agama sebagai belive in Supernatural Being (percaya kepada wujud yang adikodrati). Sedangkan Stanley Hall menilai agama bersumber dari tradisi totemisme.
Sebagai pakar sosiologi, Selo Soemardjan melihat agama dari sudut sosiologi. Menurutnya, agama memang bersumber dari ajaran ilahi. Sejalan dengan pandangan ini, maka ada yang menggolongkan budaya dalam :
a. budaya Iptek
adalah budaya yang lahir dari ilmu pengetahuan dan teknologi.
b. budaya agama
adalah budaya yang lahir dari nilai-nilai ajaran agama.
2. Sentimen Keagamaan
Secara etimologi, sentimen diartikan sebagai semacam pendapat atau pandangan yang didasarkan perasaan yang berlebih-lebihan terhadap sesuatu yang bertentangan dengan pertimbangan pikiran. Sebagai gejala psikologis, sentimen menggambarkan luapan perasaan tidak puas atau benci terhadap sesuatu yang dianggap menyalahi ataupun bertentangan dengan kondisi yang ada.
3. Kegersangan Spiritual
Kegersangan Spiritual dapat menimbulkan “cacat nurani”. Nilai-nilai kemanusiaan terabaikan sama sekali. Mampu mengubah perilaku manusia menjadi kejam. Ingin menunjukan ekstensi dirinya melalui perbuatan yang tercela.
a. Megalomania
Kadigdayaan iptek menciptakan dirinya sebagai “agama” baru. Keunggulan produknya sudah bagaikan “fatwa”. Bisa membenarkan si pemilik menggunakannya untuk tujuan apa saja. Termasuk adu kekuatan. Pertimbangan moral terabaikan. Di kala itu arogansi manusia mengedepan.
Rangkaian kemenangan yang di peroleh menjadikan manusia lupa diri. Merasa serba perkasa. Semuanya kemudian terendap ke alam tak sadar. Menumpuk dan berubah dalam bentuk narsisis kekuasaan. secara tak sadar muncul dalam setiap megalomania. Gila kekuasaan. Sejarah mencatat sosok megalomania, antara lain Adolf Hitler, Idi Amin, Saddam Husein, maupun George Walker Bush.
Michael Bigent mengatakan bahwa kemajuan, telah mengkhianati amanat yang diberikan kepadanya. Ilmu pengetahuan yang semula diperkirakan akan menawarkan prospek baru untuk usaha perbaikan hidup manusia malah justru memproduksi alat-alat mengeriakan untuk menghancurkannya. Di balik penghancuran itu pula berdiri pengidap megalomania.
b. Keserakahan
Produk iptek menawarkan kemewahan materi. Kekayaan materi dijadikan indikator status sosial. Manusia semakin haus. Tak pernah merasa mampu diusahakan. Memperkaya diri dengan cara apa pun. Sementara nilai-nilai moral diabaikan.
Di tengah-tengah persaingan kemewahan, tanpa memiliki kekayaan, manusia merasa kehilangan harga diri. Perasaan ini pula yang mendorong seseorang serakah. Hidup dalam kendali hawa nafsu yang lepas dari kekangan nilai-nilai moral. Hanya untuk mendapat “pengakuan” atas dirinya, manusia terdorong melakukan manipulasi ataupun korupsi.
c. Manusia Robot
Kegersangan spiritual juga dapat mengubah perilaku manusia ke perilaku robotis. Bentuk perilaku yang terkendali secara mekanisme. Membeo dalam kata, meniru perilaku. Mengidentifikasi diri di popularitas sosok idola. “Terhipnotis” jadi sosok “pak turut”. Tak ubahnya perilaku bocah yang termakan kemulukan iklan.
Berlomba-lomba, dan tak mau ketinggalan dalam kegiatan bersepeda santai, hanya karena pejabat setempat melakukannya. Meniru dandanan para aktris atau aktor kondang. Perilaku “jiplakan” seperti ini tak lepas dari pengaruh sikap latah. Menempatkan diri sebagai robot. Manusia yang sudah kehilangan jati diri.
Bukan itu saja. Manusia robot juga dijumpai dalam kehidupan sehari-hari mesyarakat medorn. Modernisasi telah menjadikan manusia pengagum teknologi. Rangkaian kehidupannya seakan sudah ‘digadaikan’ ke perangkat teknologi. Patuh terhadap simbol-simboldan mekanisme produk teknologi. Ingin serba tepat dan akurat. Manusia sudah bagaikan mesin. Beraktivitas dalam kekosongan nilai-nilai.
d. Euforia Massal
Kegersangan spiritual menyebabkan manusia merasa dirinya terasing. Merasa kesepian dalam keramain. Masyarakat manusia sudah berubah jadi masyarakat massa (mass society). Masyarakat yang kehilangan rasa solidaritas. Berubah dari masyarakat paguyuban ke patembayan. Masyarakat yang mengedepankan kepentingan individu, “lu-lu, gue-gue”.
Sebagai makhluk sosial, perasaan terasing merupakan “derita” batin bagi manusia. Untuk mengenyahkan perasaan ini, mendorong manusia menemukan teman senasib. Membentuk peer group dengan latar belakang profesi. Membaur diri bersama teman senasib dan sepenggungan, menyatu dalam euforial massal. Apa pun kegiatannya bukan masalah. Yang terpenting dapat mengobati kegundahan batin. Tak heran bila berbagai klub bermuculan, terutama di kota-kota yang sudah terlanda peradaban modern.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidikan dinilai memiliki peran penting dalam upaya menanamkan rasa keagamaan pada seorang anak. Dengan melalui pendidikan pula dilakukan pembentukan sikap keagamaan. Pengaruh pendidikan terhadap jiwa keagamaan ada empat yaitu:
a. Pendidikan Keluarga
b. Pendidikan Kelembagaan
c. Pendidikan di Masyarakat
d. Agama dan Masalah Sosial
Kebudayaan dalam suatu masyarakat merupakan sistem nilai tertentu yang dijadikan pedoman hidup oleh warga yang mendukung kebudayaan tersebut. Karena dijadikan kerangka acuan dalam bertindak dan bertingkah laku maka kebudayaan cenderung menjadi tradisi dalam suatu masyarakat. Tradisi adalah sesuatu yang sulit berubah, karena sudah menyatu dalam kehidupan masyarakat pendukungnya. Pengaruh pendidikan terhadap jiwa keagamaan ada tiga yaitu:
a. Tradisi Keagamaan dan Kebudayaan
b. Tradisi Keagamaan dan Sikap Kebudayaan
c. Kebudayaan dalam Era Globalisasi dan pengaruhnya terhadap Jiwa Keagamaan.
B. Saran
Penulis menyadari dalam proses pembuatan dan penyampaian makalah terdapat banyak kesalahan dan kekhilafan, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk penulis guna mengingatkan dan memperbaiki. Terakhir tidak lupa penulis mengucapkan rasa syukur kehadirat Allah SWT serta terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu dalam proses pembuatan makalah.
DAFTAR PUSTAKA
Jalaluddin. 2001. Psikologi Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Jalaluddin. 2001. Psikologi Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Jalaluddin. 1998. Psikologi Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Belum ada tanggapan untuk "Makalah Psikologi Agama (Pengaruh Pendidikan Dan Kebudayaan Terhadap Jiwa Agama)"
Post a Comment